IPS

Sabtu, 22 September 2012

perkembangannya kerajaan Mataram

perkembangannya kerajaan Mataram Nama kerajaan Mataram tentu sudah pernah Anda dengar sebelumnya dan ingatan Anda pasti tertuju pada kerajaan Mataram wangsa Sanjaya dan Syailendra pada zaman Hindu-Budha. Kerajaan Mataram yang akan dibahas dalam modul ini, tidak ada hubungannya dengan kerajaan Mataram zaman Hindu-Budha. Mungkin hanya kebetulan nama yang sama. Dan secara kebetulan keduanya berada pada lokasi yang tidak jauh berbeda yaitu Jawa Tengah Selatan. Pada awal perkembangannya kerajaan Mataram adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang munculnya kerajaan Pajang. Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya yang juga mengabdi kepada raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati di Kota Gede tersebut. Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang saudara antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan keturunan dari Raden Trenggono. Akibat dari perang saudara tersebut, maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah yang mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya. Atas bantuan Sutawijaya tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram. Lokasi kerajaan Mataram tersebut di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di kota Gede yaitu di sekitar kota Yogyakarta sekarang. Kehidupan Politik Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram terwujud, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613. Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung merupakan raja terbesar dari kerajaan ini. Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana. Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram. Untuk selanjutnya silahkan Anda diskusikan dengan teman-teman Anda mencari penyebab kegagalan yang lain serangan Mataram ke batavia. Hasil diskusi Anda dapat dikumpulkan pada guru bina Anda dan kemudian lanjutkan menyimak uraian materi selanjutnya. Walaupun penyerangan terhadap Batavia mengalami kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan terhadap daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II, Amangkurat III, Paku Buwono I, Amangkurat IV, Paku Buwono II, Paku Buwono III merupakan raja-raja yang lemah. Sehingga pemberontakan terjadi antara lain Trunojoyo 1674-1679, Untung Suropati 1683-1706, pemberontakan Cina 1740-1748. Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC. VOC berhasil menaklukan Mataram melalui politik devide et impera, kerajaan Mataram dibagi dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah : 1. Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I. 2. Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III. Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813. Demikianlah perkembangan politik kerajaan Mataram. Untuk menambah pemahaman Anda, buatlah silsilah raja-raja Mataram dari awal berdirinya Mataram sampai tahun 1757. Sebagai referensinya Anda dapat membaca buku Sejarah Nasional Kehidupan Ekonomi Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad ke-17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar. Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham, bandingkan dengan uraian materi selanjutnya. Kehidupan Sosial Budaya Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan adanya sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.

Label:

Pangeran Cakrabuana


Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang – ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
b. Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
  Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

Label:

Sultan Agung

Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw. “kertå”, maka muncul sebutan pula “Mataram Kerta”). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I). Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618. Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap. Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan. Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.

Label:

Mas kerebet

Dalam sejarah Pajang adalah pemegang kendali kekuasaan kerajaan islam jawa setelah demak. Ada sejarahwan yang mengatakan bahwa sebenarnya pajang belumlah berbentuk kesultanan dan rajanya tidak bergelar sultan. Pajang, kata sejarahwan tersebut masih berbentuk kadipaten. Namun, demi mudahnya, kita memakai pendapat pertama dengan menyebut pajang sebagai kesultanan. Kesultanan pajang terletak di daerah kartasura (dekat surakarta atau solo), Jawa tengah. Kesultanan ini merupakan kerajaan islam pertama yang terletak di daerah pedalaman. Sebelumnya, kerajaan islam selalu berada di daerah pesisir, karena islam datang melalui para pedagang dari asia barat yang berlabuh di pesisir. Sultan pertama pajang adalah mas kerebet. Ia berasal dari pangging, desa di lereng Gunung Merapi sebelah tenggara. Mas kerebet adalah anak penguasa pengging terakhir, handayaningrat, yang dihukum mati oleh sultan Kudus. Hukuman mati itu diberikan karena Handayaningrat mengikuti ajaran syekh Siti Jenar yang dianggap sesat. Mas karebet memiliki nama lain, yakni Jaka Tingkir. Tingkir adalah nama tempat mas Kerebet dibesarkan. Syahdan, seekor banteng mengamuk di demak. Sebuah sayembara pun diadakan di Demak. Kesultanan demak menyatakan bahwa siapa saja yang dapat menaklukkan banteng itu, akan diangkat sebagai punggawa kesultanan. Jaka tingkir mengikuti sayembara tersebut, dan ia berhasil melumpuhkan si banteng. Karenanya, Jaka Tingkir diterima mengabdi, bahkan kemudian menjadi menantu Sultan Trenggana dan diberi sebuah wilayah bernama pajang, dengan Jaka Tikir sebagai adipatinya. Setelah sultan trenggana meninggal pada tahun 1546, anaknya yang bernama Sunan Prawoto diangkat sebagai penggantinya. Akan tetapi, ia kemudian meninggal terbunuh dalam perebutan kekuasaan oleh keponakannya sendiri, yaitu Arya Panangsang. Selanjutnya, Arya Penangsang menjadi penguasa demak. Namun karena kadipaten pajang juga telah beranjak kuat dan memiliki wilayah yang luas terjadilah pertentangan antara jaka tingkir dan arya penangsang. Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai arya penangsang, jaka tingkir akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang. Kisah menaklukan arya penangsang terekam di dalam cerita babad, tentu saja dengan bumbu-bumbus mitos. Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Jaka Tingkir mendapat bantuan dari tiga orang yaknik Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani. Arya Penangsang terkenal sakti, karena merupakan murid utama sunan Kudus, senapati perang kerajaan demak. Untuk menghadapi kesaktian penangsang, ketiga orang itu membuat strategi. Taktik dijalankan, awalnya dengan menangkap dan melukai telinga kuda kesayangan Arya Penangsang, Gagak Rimang. Kuda itu kemudian dikembalikan ke kandangnya. Mengetahui hal itu, Arya Penangsang sangat murka, dan langsung mencari yang dianggap bertanggung jawab. Dilihatnya, orang yang melekuia Gagang Rimang lari ke tepi Bengawan Solo, Maka arya penangsang mengejarnya. Di sana pasukan ki pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Martani sudah menunggu. Saat itu danang Sutawijaya anak ki Gede Mataram, sudah menunggu di balik gerumul semak di seberang sungai. Ketika Arya penangsang tiba di tepi bengawan, diseberang dilepaskan seekor kuda betina. Maka, gagak rimang langsung mengejar kuda betina tersebut tanpa bisa dikendalikan, dan menyeberangi bengawan solo. Di seberang bengawan, Danang Sutawijaya sudah siap, menghunus tombank Kyai Plered. Begitu posisi dekat, Arya Penangsang ditikam dengan tombak di tangan Sutawijaya. Ia terjatuh, ususnya terburai. Namun, arya penangsang bangkit lagi, dan melilitkan ususnya di kerisnya, Kyai Setan Kober. Lantas ia menerjang sutawijaya, sambil menghunus kerisnya. Tetapi ia lupa, keris sakitnya terlilit ususnya sendiri, hingga malah menggores ususnya itu. arya penangsang tewas seketika. Sebagai raja pajang, jaka tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya (1568 – 1582). Gelar itu disahkan oleh sunan Giri, dan segera mendapat pengakuan dari para adipati di jawa tengah dan jawa timur. Sebagai langkah pertama peneguhan kekuasaan, hadiwijaya memerintahkan agar semua benda pusaka demak dipindahkan ke Pajang. Setelah itu, ia menjadi salah satu raja yang paling berpengaruh di Jawa. Sultan Hadiwijaya memperluas kekuasaannya di jawa pedalaman ke arah timur sampai daerah madiun, di aliran anak bengawan Solo yang terbesar. Tahun 1554, Blora, dekat Jipang, diduduki pula. Kediri ditundukannya pada tahun 1577. tahun 1581, sesudah usia sultan Hadiwijaya melampaui setengah baya, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan islam dari raja-raja terpenting di jawa timur. Meskipun sultan hadiwijaya sangat berpengaruh dan kuat, akan tetapi pajang tidak mampu memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah lautan. Bahkan madura pun tidak masuk dalam wilayah kekuasaan pajang. Mungkin, ini merupakan salah satu akibat posisi pajang yang berada terlalu masuk ke pedalaman jawa. Meskipun perluasan wilayah tidak dapat dijalankan secara maksimal, selama pemerintahan hadiwijaya, bidang kesusastraan dan kesenian yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat laut dikenal di pedalaman jawa. Pengaruh islam yang kaut di daerah pesisir pun menjalar dan tersebar ke pedalaman. Hadiwijaya meninggal dunia pada tahun 1587. jenazahnya dimakamkan di Butuh, suatu daerah sebelah barat taman keraton pajang. Ia digantikan oleh menantunya, Arya Pangiri, anak Sunan Prawoto. Sebelum diangkat ke tahta pajang, Arya Pangiri adalah penguasa demak. Sementara itu, anak sultan Hadiwijaya, pangeran Benawa, disingkirkan oleh Arya Pangiri, dan dijadikan Adipati Jipang. Pangeran Benawa lantas meminta bantuan danang Sutawijaya penguasa mataram, untuk menggulingkan Arya Pangiri. Mereka berhasil dan pangeran Benawa naik ke singgasana pajang. Meski demikian, benawa mengakhiri kekuasaannya dengan mengundurkan diri dari tahta, lalu memilih hidup mengabdi untuk agama. Selanjutnya, kesultanan pajang kalah pamor terhadap kekuasaan Mataram. Sebagai pengganti pengeran benawa, raja mataram mengangkat Gagak bening. Namun, posisinya hanyalah sebagai adipati Pajang. Sayang, usianya tidak panjang. Ia meninggal pada tahun 1591. akhirnya, raja mataram mengangkat putra pangeran benawa sebagai adipati pajang. Riwayat kerajaan pajang bearkhi di tahun 1618.

Label: